ROH ORANG MATI
(Studi Teologi Religionum Tentang Pemahaman Roh Orang
Mati menurut Kristen dan Parmalim serta Implikasinya Bagi Kehidupan Umat Kristen)
I.
Latar Belakang Masalah
Hidup dan
mati adalah sifat kodrat manusia. Siapa saja dapat dipanggil Tuhan
sewaktu-waktu. Kematian atau maut sampai saat ini tidak dapat dikalahkan oleh
siapapun dan tidak dapat dihindarkan. Hidup manusia di dunia
ini hanyalah dalam jangka waktu yang terbatas, apabila orang mengalami kematian
hal itu berarti segala kehidupannya di dunia ini telah lenyap. Kematian adalah
perpisahan antara tubuh dengan jiwa/roh. Kematian merupakan suatu fakta penting dalam kehidupan, suatu sumber harapan-harapan dan
ketakutan-ketakutan kita yang paling besar. Disamping itu, kematian adalah
suatu proses yang akan dialami oleh setiap manusia dalam kehidupannya di dunia
ini. Kematian seseorang pada umumnya dipandang sebagai suatu peristiwa yang
sedih bagi sanak keluarga yang ditinggalkannya maupun sebagai suatu kemalangan
yang secara potensial membawa konsekuensi-konsekuensi. Roh-roh orang yang
meninggal dianggap berbahaya, maka segera sesudah mati, mereka diyakini pergi
ke suatu tempat. Karena roh-roh itu dianggap berbahaya maka sebagian besar
masyarakat melakukan suatu upacara ritual untuk mengantar mereka menuju tempat
terakhir. Pembangunan monumen-monumen pemakaman Batak Toba (tugu) dianggap
sebagai cara Batak melaksanakan perintah Allah dalam Kekristenan untuk
menghormati ayah dan ibu.
Kematian berarti akhir dari segala
aktivitas kehidupan, kematian juga dialami oleh jiwa. Kematian adalah tujuan
setiap orang, yang merupakan sisi negatif dari hidup ketika kematian itu
digambarkan seperti setan atau kejahatan. Kematian adalah akhir dari segala
kehidupan. Mati berarti hal yang terakhir dari kemungkinan yang diberikan
kepada kita. Walaupun kita dapat membedakan kematian fisik dan metafisik, namun
semuanya itu tidak dapat dipisahkan dan yang terjadi adalah berakhirnya segala
sesuatu dari keberadaan ciptaan itu, apapun yang terjadi dalam kematian
haruslah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dari sifat kesinambungan hidup.
Inilah yang merupakan hukuman bagi hidup yaitu bahwa kematian merupakan bagian
terpenting dalam hidup.
Maka dalam hal ini bagaimana sebenarnya pemahaman Kristen dan Parmalim tentang
Roh Orang Mati.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian
Roh
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
roh diartikan sesuatu (unsur) yang ada di jasad yang diciptakan Tuhan sebagai
penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa.[1]
Dalam Kamus Alkitab roh berasal dari bahasa Ibrani ruakh yang berarti angin (Kel. 10:13) atau nafas (Kej. 6:17), atau
kuasa ilahi (Yeh. 39:9). Dalam Perjanjian Baru, kata Yunani pneuma mempunyai arti luas, yang
menunjukkan kuasa pemberi kehidupan yang tak terlihat.[2] Pneuma berarti angin dan pneuma dapat juga berarti unsur diri
manusia yang tetap lestari sesudah kematian (Mrk. 27:50; Luk. 8:55; Yoh. 19:30;
Kis 7:59; Ibr 12:23; 1Ptr. 3:18-19; Why. 11:11).[3]
Dalam Kamus Bahasa Batak-Indonesia, tondi
adalah jiwa, roh, sukma manusia, kepribadiannya (tondi) yang terjadi sewaktu manusia masih berada dalam rahim ibu
dan menentukan takdir, nasibnya, kemudian manusia menjadi sakit, itulah
sebabnya orang memberikan persembahan kepada (tondi) dan berikhtiarkan agar dia berbalik hati.[4]
Tondi
adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk batu,
besi atau peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tenaga itulah
yang membentuk energi
potensial di dalam makhluk yang ditempatinya. Tondi menyertai orang selama hidupnya, jika tondi meninggalkan seseorang buat sementara, maka orang itu akan jatuh sakit. Jika tondi meninggalkan tubuh seseorang untuk
selama-lamanya maka orang itu akan mati. Tondi
dapat keluar dari jasad manusia.[5]
Masyarakat
Batak memiliki pemahaman tentang tondi.
Pemahaman tersebut timbul karena setiap pemahaman manusia diyakini memiliki tondi dalam menopang kehidupannya.
Menurut anggapan orang Batak, tondi
seseorang itu berada di dalam tubuh serta dianggap sebagai dirinya sendiri. Itu
sebabnya, tondi dipahami sebagai
suatu pribadi. Tondi menyertai
seseorang selama hidupnya. Akan tetapi jika seseorang itu sakit, maka tondi tersebut meninggalkan tubuh selama
penyakit seseorang itu belum sembuh. Apabila tondi meninggalkan tubuh, maka diadakan mangalap tondi, artinya
memanggil kembali tondi yang
”minggat” atau keluar meninggalkan tubuh. Apabila seseorang itu meninggal maka tondi meninggalkan jasad untuk
selama-lamanya.[6]
Tondi itu ada di dalam setiap aspek
orang termasuk rambut, kutu, keringat, air mata, kencing, kotoran, bayangan, dan bahkan dalam nama-namanya.
Untuk membersihkan tondi maka
diadakanlah upacara.[7]
Dalam
Perjanjian Lama yaitu dalam bahasa Ibrani untuk menyebut kata roh dipakai kata ruakh yang berarti angin dan juga
berarti berkuasa, bahkan dapat juga diartikan dengan merusak (Kel. 10:13; Ayub
21:18). Dalam psikologi, ruakh
berarti pendorong yang dominan (Kej. 26:35; Bil. 5:14). Kata benda ruakh berasal dari kata kerja yang
berarti mengeluarkan nafas dengan kuat dari hidung. Kadang-kdang kata itu
mengandung arti pusat hidup yang searti dengan nefesy, yaitu makhluk hidup.[8]
Kitab Perjanjian Baru menerjemahkan Roh dalam bahasa Yunani adalah pneuma dan
parakletoV.
Kata pneuma yang mempunyai
arti angin; nafas; hidup dan; jiwa. Roh mempuyai sifat yang kekal dan
bersumber dari yang maha kuasa (Allah) yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.[9]
2.2. Pengertian
Mati
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mati diartikan sesuatu yang sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi,
tidak bernyawa, tidak pernah hidup.[10]
Dari satu sudut kematian termasuk peristiwa yang lumrah, manusia ditetapkan
hanya mati satu kali saja (Ibr. 9:27). Dari sudut pandang yang lain, maut atau
kematian merupakan hal yang paling tidak wajar. Maut adalah upah dosa (Rm.
6:23), karena itu patut ditakuti. Kedua sudut pandang ini terdapat dalam Alkitab, dan tidak boleh dilalaikan.
Secara biologis kematian adalah keharusan, tetapi kematian manusia tidaklah
seperti kematian binatang.[11]
Dalam
bahasa Yunani kematian disebut thanatos.
Thanatos berarti bentuk kematian atau
keadaan mati. Tetapi kata ini juga dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya
yang mematikan, bagaimana kematian, ancaman kematian. Thanatoo berarti membuat seseorang mati, membunuh, dan
mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian adalah jangka
waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan.[12]
Dalam Perjanjian Lama kematian berarti akhir kesudahan dari keberadaan
seseorang (2 Sam. 12:15; 14:14). Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan
kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Jiwa diartikan sebagai sheol (hades) yang tidak
ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades (ruang antara kematian dan
penghakiman akhir).[13]
Kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Mati berarti hal yang terakhir
dari kemungkinan yang diberikan kepada kita. Walaupun kita dapat membedakan
kematian fisik dan metafisik, namun semuanya itu tidak dapat dipisahkan dan
yang terjadi adalah berakhirnya segala sesuatu dari keberadaan ciptaan itu,
apapun yang terjadi dalam kematian haruslah dianggap sebagai sesuatu yang
berbeda dari sifat kesinambungan hidup. Inilah yang merupakan hukuman bagi
hidup yaitu bahwa kematian merupakan bagian terpenting dalam hidup yang tidak
terlalu penting untuk dipikirkan.[14]
2.3. Pengertian
Orang Mati
Kematian manusia adalah juga
kematian tubuh dan rohnya, tentu memiliki alasan, baik secara Alkitabiah dan
filosofis. Secara filosofis manusia yang hidup adalah mempunyai tubuh dan roh.
Tubuh adalah fana dan roh adalah kekal. Dalam pemahaman ini, keberadaan manusia
harus dipahami secara totalitas. Bahkan manusia jasmani tanpa manusia rohani
tidak boleh dibedakan. Tidak ada manusia jasmani tanpa manusia rohani, demikian
juga sebaliknya. Manusia hidup atau mati harus dipahami secara utuh mempunyai
tubuh dan roh. Oleh karena itu, pandangan ini mengatakan kalau manusia mati,
maka kematiaannya adalah secara totalitas, baik tubuhnya maupun rohnya. Manusia
tidak terpisahkan dari tubuh dan roh. Manusia tidak mungkin mengalami mati
hanya sebahagian dari keberadaannya, sedangkan yang sebagian lagi kebal
terhadap kematian.[15]
Dalam Kolose 3:3 Paulus memahami kematian sebagai kepergian kepada kehidupan
bersama-sama Kristus yang tersembunyi pada Allah.[16]
2.4. Pandangan
Orang Kristen Tentang Roh Orang Mati
Dalam Bahasa Ibrani kematian
disebut dengan kata maweth yang
artinya adalah maut kematian (Im. 11:14; Bil. 16:19; 1Sam. 20:31; Mzm. 13:14).[17]
Kata ini juga dipakai menuju proses kematian (Kej. 21:26), masa kematian (Kej.
27:7). Manusia harus kembali kepada tanah sebab manusia itu berasal dari tanah
(Kej. 3:19).[18]
Pada waktu mati roh orang mati akan berada di seol yaitu kerajaan orang mati, dimana tidak ada kelangsungan hidup
di dalamnya. Ditempat ini orang mendapat perhentian bersama nenek moyangnya
(Kej. 37:35; 1Raj. 2:10). Dalam Perjanjian Lama seol menandakan kematian, kegelapan, dan tempat orang yang mati
dikumpulkan.[19]
Dalam Perjanjian Lama ada keyakinan bahwa keadaan orang di dalam dunia orang
mati itu tidak sama.
Dalam
Perjanjian Lama, kata yang dipakai untuk menjelaskan dunia orang mati adalah seol (שאול). Seol secara sederhana dapat diartikan
sebagai tempat atau keberadaan orang mati. Dalam terjemahan bahasa Inggris,
seol diartikan: dunia orang mati, kubur dan lubang.[20]
Israel kuno memahami seol sebagai bagian bawah bumi (Bil. 16:30-33, Am. 9:2). Mereka menggambarkan seperti
memasuki sebuah gerbang, sebuah kegelapan, suatu daerah yang muram, yang
keberadaannya tidak aktif. Mereka memandangnya sebagai suatu tempat di mana
semua roh manusia yang mati akan pergi kesana tanpa terkecuali. Gambaran yang
paling umum dalam perjanjian Lama tentang kehidupan setelah mati adalah
kehidupan yang samar-samar. Terkadang keberadaan di sana dikatakan seperti
hukuman penjara, orang mati yang terisolasi dari Allah dan sama sekali tidak
acuh terhadap apapun (Mazmur 30:9).[21]
Perjanjian
Baru dengan bahasa aslinya bahasa Yunani menggunakan kata hades (άδης) untuk menunjukkan pada konsep dunia orang mati. Hades diterjemahkan sebagai dunia orang
mati, dunia yang tidak kelihatan, yang mana semua orang mati akan memasukinya
pada saat kematian.[22]
Alkitab menjelaskan bahwa roh orang mati akan masuk ke dalam tempat perhentian
atau dunia orang mati. Tempat perhentian atau dunia orang mati itu menjadi dua
bagian, yaitu: pertama, bagi orang yang tidak percaya bahwa keselamatan hanya
di dalam Yesus akan masuk ke dalam tempat perhentian yang disebut dengan hades. Hades adalah tempat perhentian, bukan neraka. Di tempat ini ada
penderitaam dan kesakitan yang hebat sambil menunggu penghakiman terakhir oleh
Yesus Kristus, yang kemudian
mereka dimasukkan ke dalam neraka, tempat hukuman yang kekal. Orang yang masuk
ke dalam hades pada waktu Yesus
datang kedua kali. Kedua, tempat penantian upah sorgawi. Tempat penantian ini
berisikan orang-orang yang selama hidupnya sungguh percaya kepada Yesus. Tempat
ini disebut dengan Firdaus.[23]
Dalam Perjanjian Baru, kata hades merupakan terjemahan dari kata
Ibrani seol, sebagai tempat kediaman
orang mati, yang tetap ada dalam keadaan seperti bayangan (Pkh. 9:10). Di dalam
hades dibayangkan bahwa sementara
fisik akan menimpa mereka setelah mati (Luk. 16:23), tentu saja bagi
orang-orang berdosa yang tidak bertobat (Mrk. 9:48). Hades/alam maut (Why. 20:13-14) dan maut dianggap sebagai alam
demonis yang dikaitkan dengan laut (bnd. Mrk. 5:13). Ketika maksud Allah telah tercapai
secara penuh, dengan tegaknya Kerajaan Allah yang kekal, maut (musuh terakhir,
1Kor. 15:26,54) dan hades/alam maut,
tempat orang mati beristirahat, akan menyerahkan seluruh penduduknya.[24]
Kematian
bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan
hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup
kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup kepada kehidupan bersama Allah.[25]
Untuk
itu maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri:
1. Kematian
adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia
mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang kompleks.
2. Kematian
adalah suatu hukuman, hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-23).
3. Kematian
adalah panggilan untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukum tapi juga kabar sukacita,
bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23).
Seol dan hades merupakan sebuah eksistensi di
mana setiap roh manusia yang telah mati berdiam dan akan menunggu sampai hari
penghakiman tiba. Berdiamnya roh manusia bukan merupakan keadaan mati, tetapi
keadaan menunggu. Pada waktu kematian roh orang mati akan turun ke seol yaitu kerajaan mati, di mana ia
memang melanjutkan eksistensinya dalam bentuk bayang-bayang tetap dengan corak
yang sebanding dengan sikapnya waktu dia masih hidup di dalam dunia (1Sam.
28:14).[26]
Ciri khas seol adalah tidak ada kelangsungan
hidup di dalamnya. Di tempat ini orang mendapat perhentian bersama nenek
moyangnya (Kej. 37:35, 1Raj. 2:10) di tempat ini orang tidak dapat mengucap
syukur (Yes. 28:18), dunia dan kebiasaannya tidak dapat menjangkauanya (Maz.
137:7-12, Am. 9:2). Dalam dunia orang mati tidak ada pengetahuan, tidak ada
hikmat, tidak ada pekerjaan, pertimbangan (Pkh. 9:10). Kondisi yang telah mati
tidak dapat merasakan kebencian, kecemburuan karena hal itu telah lama hilang
(Pkh. 9:6) dan orang-orang yang telah mati tidak dapat memuliakan Tuhan atau
mereka yang telah turun ke tempat sunyi tidak dapat memuliakan Tuhan (Mzm.115:17;
6:6; 88:11-13; Yes. 38:18-19). Dunia orang mati adalah rumah dan tempat tidur
pada waktu kematian (Ayb. 17:13).[27]
Ketika manusia mati
kemanakah rohnya? Berdasarkan Ayub 34:14-15, “Jika Ia menarik kembali Roh-Nya,
dan pada-Nya, maka binasalah bersama-sama segala yang hidup, dan kemabalilah
manusia kepada debu.” Pengkhotbah 12:7 “dan debu kembali menjadi tanah seperti
semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” Maka dalam kaitan
hal ini manusia yang telah meninggal rohnya kembali kepada Allah, dan Allah
menempatkan roh itu di dalam suatu tempat.
2.5.
Kematian Menurut Agama Parmalim
Pandangan suku Toba atau Parmalim tentang kematian adalah bahwa tubuhlah
yang mati, sedangkan roh masih tetap hidup. Tentang hal ini juga dipahami bahwa
seseorang yang mati itu maka daging gabe
tano, hosa gabe alogo, tondi gabe bega (tubuhnya akan menjadi tanah,
nafasnya menjadi angin, dan rohnya menjadi hantu). Dengan hubungan jiwa dan
roh, parmalim mengenal tiga konsep tentang jiwa: tondi, sahala, dan begu. Tondi
itu adalah jiwa atau roh yang sekaligus menjadi kekuatan yang menentukan jalan
kehidupan dan nasib manusia.[28] Tondi merupakan keadaan yang kekal
bersama tubuh selama masih hidup, karena itu manusia harus merawat tondi-nya agar mendapat kesejahteraan
dalam dunia ini dan dalam dunia yang akan datang. Sedangkan, sahala adalah daya khas khusus dari tondi. Orang yang meninggal mempunyai sahala dan setiap orang yang masih hidup
juga mempunyai sahala, atau dengan
kata lain bahwa setiap manusia yang sesudah mati memiliki sahala.[29] Begu adalah roh yang sudah mati, tetapi begu adalah roh-roh alam dan termasuk
semua roh yang menyusahkan orang dan juga memberikan kesejahteraan atau berkat
kepada manusia. Begu ini tinggal di
pohon-pohon tua atau batu-batu besar, di hutan yang tidak dilalui orang ataupun
di puncak gunung, dan lain-lain yang tempatnya jauh dari manusia. Dan suku Toba
mengakui bahwa begu mempunyai tingkah laku yang sama dengan manusia.[30]
Sebagai akibat dari kepercayaan ini, suku Toba sangat menghormati begu apalagi mereka meyakini bahwa ada begu yang sangat berpengaruh dan lebih
tinggi dari begu alamiah dan dari begu
yang sudah biasa disembah, yaitu sombaon.
Sombaon inilah begu yang sangat
berpengaruh dan paling berkuasa dari begubegu
lainnya. Karena itu begu ini harus
mendapat penghormatan yang lebih khusus dari penghormatan kepada begu lain.[31]
2.6.
Tondi
menurut Parmalim
Pemujaan kepada roh leluhur dan kepada begu jauh lebih meriah daripada pemujaan
kepada pada Dewata. Sesuai dengan falsafah hidup orang Batak yang animistis, menganggap dirinya sangat
tergantung pada kekuatan misterius yang ada pada manusia dan alam, sehingga
menjadikannya sebagai objek yang harus dipuja supaya memperoleh berkat dan juga
untuk menangkal malapetaka. Dan adakalanya orang berusaha menguasai kekuatan
magis tersebut dengan tujuan untuk mencelakakan musuhnya. Kepercayaan animisme
sangat erat hubungannya dengan pemujaan roh (bahasa Batak: tondi). Dipercayai bahwa roh atau tondi yang terdapat pada makhluk hidup adalah daya hidup, yang
membuat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dapat bertahan hidup. Tondi adalah tenaga yang menghidupkan
segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk batu, besi atau peralatan yang
digunakan dalam kegiatan sehari-hari. D. Joh. Warneck, tondi mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.
Tondi
sigomgom, yaitu tondi
yang tidak pernah meninggalkan tubuh yang ditinggalinya, terkecuali kalau sudah
meninggal.
2.
Tondi
sijungjung, yaitu tondi
pelindung.
3.
Tondi
sipalospalos, yaitu roh jahat yang menyebabkan
penyakit.
4.
Tondi
sibatoha, yaitu tondi
yang mempunyai daya cipta.
5.
Tondi
sipalilohot, yaitu tondi yang menjadikan seseorang kaya.
6.
Tondi
siparorot, yaitu tondi
pengasuh.
7.
Tondi
saudara, yaitu tondi
yang tidak menyatu dengan tubuh, tetapi bergabung dengan plasenta dan turut
dikuburkan.
Kekuatan
dari roh nenek moyang memiliki pengaruh yang sangat besar akan kehidupan
seperti menjadi kaya, memiliki kekayaan, kekuatan, materi, dan keturunan yang
banyak. Kekuatan dari nenek moyang dalam suku Batak Toba disebut Sumangot ni Ompu (pemujaan terhadap roh
nenek moyang).[32]
2.7.
Pandangan
Agama Parmalim Tentang
Roh Orang Mati
Begu adalah tondi atau
roh dari pada manusia yang telah meninggal dunia sebagaimana falsafah Batak
tentang kemanusiaan yang mengatakan: sesudah manusia meninggal dunia maka
tubuhnya akan menjadi tanah (busuk), nafasnya menjadi angin dan roh atau tondi-nya akan menjadi begu, inilah yang
menimbulkan ketakutan bagi manusia yang masih hidup. Adanya perasaan ketakutan
ini menjadi faktor ketakutan utamanya timbulnya aktivitas orang Batak untuk
mengkultuskannya; dan pengkultusan inilah sebenarnya dasar kebaktian, yakni
suatu usaha menghormati dan memuja-muji para begu sesuai dengan kepercayaannya. Para begu akan menjadi marah apabla tidak dihormati.[33]
Kepercayaan orang Batak purba disebut juga dengan “parmalim”
yang mempunyai hubungan yang sangat erat antara pencipta dengan ciptaannya.
Salah satu kepercayaan yang menjadi dasar bagi parmalim, bahwa tidak hanya
manusia yang mempunyai jiwa atau roh melainkan semua yang ada di alam seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan dan benda mati lainnya. Arwah orang yang sudah
meninggal, tetap berhubungan dengan para anggota suku yang masih hidup dan
mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas orang yang masih hidup.[34]
Dalam pemahaman Batak Toba, manusia yang sudah mati
rohnya akan berubah menjadi begu. Pemahaman ini juga didukung oleh filsafat
Batak itu sendiri yaitu Hosa gabe alogo,
daging gabe tano, jala tondi gabe begu (nafas menjadi angin, tubuh menjadi
tanah dan roh menjadi hantu). Batak Toba memahami bahwa roh-roh dari manusia
yang sudah mati dapat memberikan berkat duniawi dan sebagian besar nasib
manusia bergantung pada roh-roh orang mati tersebut (begu), juga diyakini dapat memberikan kesehatan, rejeki, dan umur
yang panjang. Sehingga peranan begu dalam pemahaman Batak Toba sangat besar.[35]
Dalam budaya
orang batak roh manusia yang
meninggal itu menjadi begu tetapi begu orang yang mati itu mempunyai
tingkatan-tingkatan tergantung sifat roh dan almarhum inilah yang disebut dengan begu ni tondi. Dalam hal ini dijelaskan
bahwa setelah manusia itu meninggal, fisiknya menjadi hancur. Tetapi tondi-nya atau rohnya (termasuk di
dalamnya sahala-nya atau wibawanya/nasibnya) akan
berubah menjadi begu. Dengan kata lain selama manusia hidup rohnya disebut tondi, tetapi bila ia mati akan disebut begu. Kemudian dipahami bahwa begu tersebut menjalani proses perubahan
lanjutan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni ke tingkat sumangot hingga ke tingkat sombaon.
Tingkat sombaon inilah yang dianggap
oleh Batak Toba sebagai hatuaon
(keselamatan). Karena sombaon
dianggap tinggal bersama dengan Dewata, dan secara khusus dapat menyalurkan
berkat-berkat Dewata kepada keturunan-keturunannya. Maka dari hal ini dipahami
bahwa begu juga dapat mendukung atau
menopang pekerjaan/usaha para keturunannya. Sehubungan dengan sahala itu masih
melekat padanya. Itu sebabnya dianggap bahwa orang yang masih hidup bisa
memohon pertolongan kepada sahala orangtuanya. Dengan kata lain sahala
yang meninggal dapat membantu perjuangan orang yang hidup.[36]
1. Sahala
Sahala merupakan salah satu aspek yang nyata daripada tondi menurut kepercayaan orang Batak.
Realisasi ucapan ini Nampak dalam salah satu pernyataan yang sering diucapkan
dalam adat Batak “Martondi na mangolu
marsahala na mate” artinya “orang yang hidup mempunyai tondi tetapi sahala dipunyai orang yang sudah meninggal dunia.[37]
2. Begu
Di dalam
buku yang disususn Ph. Tobing dapat dicatat bahwa menurut kepercayaan orang
Batak kuno, segera sesudah manusia meninggal dunia maka tondi-nya akan menjadi begu.
Ada dua macam yang disebut dengan begu
yakni: roh-roh alam yang ada di dunia ini dan roh-roh orang yang sudah
meninggal dunia. Begu berkeliaran di
seluruh benua tengah ini, dan mereka juga mengalami kematian dan kebangkitan
kembali. Begu juga mempunyai posisi,
jabatan di tengah-tengah masyarakat begu
sebagaimana kedudukan yang dimilikinya semasa hiduonya, melakukan pekerjaan, mencari
nafkah, dan lain sebagainya. Orang Batak mempercayai bahwa begu dapat berhubungan dengan para keluarganya yang masih hidup,
oleh karena itulah para keluarga yang masih hidup sering memberikan makanan
kepada mereka agar begu tidak marah
dan melakukan tindakan kejahatan terhadap keluarganya yang masih hidup. Semakin
banyak sesajian, persembahan yang diberikan kepada begu, dipercayai bahwa mereka akan semakin lebih tinggi martabatnya
di tengah-tengah masyarakat begu.
Apabila martabat dan status kedudukan begu
semakin meningkat, maka diharapkan dia akan beralih bukan hanya seabagai begu saja tetapi sudah berada dalam
status “sombaon” yakni yang harus
disembah.[38]
3. Sumangot (roh
yang dipuja)
Sumangot mempunyai tempat yang khusus terutama mereka yang dulunya
dianggap kaya,
mempunyai kekuasaan dan mempunyai keturunan yang banyak, roh mereka
disebut sumangot, yang ia diminta
disembah, dihormati dengan sesajen agar tetap bisa ikut mensejahterakan
keturunannya. Jika penyembahan dilalaikan maka mengakibatkan malapetaka. Jika
pada masa hidupnya lelehur mereka mempunyai kedudukan yang penting, maka
diyakini juga pada dunia roh memiliki kedudukan yang penting juga. Penghormatan
kepada mereka akan meningkat dengan bertambahnya keturunan. Sumangot ingin
disembah dan dihormati dengan sesajen agar terus bergiat mensejahterakan
keturunan. Dengan demikian panen akan melimpah, terhindar dari bencana atau
hidup sejahtera. Tetapi sebaliknya jika roh itu dilalaikan maka malapetaka akan
datang menimpa. Biasanya masyarakat akan ke datu
untuk menanyakan apakah leluhurnya murka (tarrimas).
Jika memang demikian halnya, datu
akan menentukan macam pengorbanan yang mesti dilakukan. Kadang-kadang roh
mengungkapkan kehendak dan keinginannya melalui perantara yang kerasukan roh
pada suatu peristiwa khusus.[39]
Batak mempercayai sumangot hanya
dimiliki oleh nenek moyang yang sudah lama meninggal dunia. Sumangot bisa menjadi berkat bagi orang
Batak apabila selalu menghormati roh nenek moyangnya.[40]
4. Sombaon (roh
yang disembah)
Leluhur
besar mendapat penghormatan sesuai dengan kedudukannya. Tetapi penghormatan
yang lebih besar
diberikan kepada sumangot jika jalur
keturunannya tumbuh menjadi marga yang besar atau menjadi kelompok suku. Ia
diangkat keperingkat yang
tertinggi dalam dunia roh dan mendekati kedudukan dewata yaitu sombaon. Sombaon mempunyai kuasa untuk mengutuk dan memberkati keturunannya
yang masih hidup. Didorong oleh keyakinan inilah orang batak Toba untuk
meninggikan makam orangtuanya sebagai pernyataan penghormatan tertinggi.[41]
Setiap marga
di tengah-tengah masyarakat Batak merasa beruntung apabila diantara nenek
moyangnya telah ada yang naik pangkat menjadi sombaon. Karena dengan naik pangkatnya mereka menjadi sombaon maka marga mereka telah turut
serta dalam daftar-daftar penguasa dan pemerintah atas masyarakat yang hidup. Sombaon dipercaya dekat sekali atau sama
dengan para debata yang menguasai
kehidupan manusia. Maka, diharapkan bahwa kehidupan marga mereka akan terjamin,
yakni jauh dari segala bentuk penyakit, kelemahan dan mendapat berkat,
kebahagiaan, keturunan yang banyak di atas dunia.[42]
2.8.
Implikasi Bagi Kehidupan Umat Kristen
Pemahaman roh orang mati menurut Kristen dan Parmalim
mempunyai pendapat yang berbeda. Masing-masing agama memiliki dasar teologis
tersendiri untuk memperkuat pandangan mereka tentang roh orang mati. Sebagaimana
keanggotaan dalam tubuh Kristus mengalahkan kematian, yaitu tidak diremukkan
oleh kematian, demikianlah juga keanggotaan suatu golongan orang percaya tidak
dihancurkan oleh kematian. Persekutuan dengan Kristus secara vertikal sesudah
mati. Itu berarti bahwa persekutuan dengan Kristus mengandung persekutuan
horizontal diantara anggota yang berhubungan satu sama lain di dalam Tuhan. Orang-orang
Kristen yang meninggal, oleh karena dan sepanjang mereka berada di dalam
Kristus, juga berada dalam persekutuan dengan mereka berjuang di dunia ini.
Hubungan horizontal orang-orang hidup dengan orang-orang mati dalam Kristus
berlangsung karena keanggotaan mereka dalam tubuh Kristus dan hanya dalam,
dengan, dan melalui Kristus. Sifat persekutuan antara orang yang hidup dan
orang yang mati ditentukan selanjutnya oleh kenyataan bahwa kelompok itu
sama-sama menantikan penggenapan hari Tuhan (1Yoh. 3:2).
Budaya batak Toba meyakini akan adanya kehidupan roh
manusia setelah mati di bumi ini, sehingga kepercayaan akan kematian itu
hanyalah tubuh yang mati, sedangkan roh tetap hidup di dalam suatu bentuk yakni
begu. Begu ini mempunyai pengaruh dan kekuatan untuk penghukum atau memberkati
manusia yang hidup. Dengan kepercayaan ini masyarakat Toba masih meyakini dan
melakukan pemujaan arwah roh nenek moyang. Melihat dari Matius 27:51-53,
tentang kebangkitan orang-orang kudus yang telah meninggal, lalu masuk ke kota
kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang. Dari hal ini dapat kita lihat
bagaimana roh orang yang telah mati dan bangkit masih berada di dalam dunia ini
yakni orang-orang yang semasa hidupnya selalu kudus. Sama halnya dengan
pemahaman tentang roh orang mati dalam agama Parmalim yakni hanya orang yang
baik dan suci semasa hidupnya yang layak menjadi Sombaon dan dianggap yang dapat memberikan berkat bagi para
keturunannya, sehingga roh harus disembah. Sebaliknya, apabila orang yang sudah
meninggal itu semasa hidupnya penuh dengan kesalahan dan dosa, maka setelah dia
mati bukan menjadi Sahala melainkan Begu. Dengan kata lain, agama Kristen dan
Parmalim sama-sama sangat menekankan dan mengajarkan perbuatan baik. Inilah
implikasi yang dapat dilihat dari pokok bahasan ini yakni penekanan tentang
perbuatan baik itu, meskipun memiliki makna yang berbeda dari kedua agama ini.
2.9.
Analisa Seminaris
Oleh masyarakat Batak bahwa di samping para debata masih ada kekuatan-kekuatan atau tenaga lain, yang erat
berhubungan dengan kehidupan manusia. mereka selalu mendapatkan penghormatan
setinggi-tingginya bahkan dapat dikatakan dihormati lebih tinggi daripada
penghormatan kepada para debata.
Kekuatan dan tenaga ini mempunyai pengaruh yang sangat besar menentukan kehidupan
manusia, bahkan baik buruk kehidupan manusia adalah tergantung atas respon yang
dilakukan manusia pada kekuatan dan tenaga roh atau tondi ini. Sehingga ada perasaan takut pada manusia ini menjadi
faktor utama timbulnya aktivitas orang Batak untuk mengkultuskannya, yakni
suatu usaha menghormati dan memuja para begu
sesuai dengan kepercayaannya. Walaupun secara prinsipnya dapat dikatakan bahwa
orang Batak kuno mengenal berbagai nama debata
namun hal ini kurang begitu dipentingkan lagi oleh karena terdesak akan
ketakutan yang berlebihan terhadap kekuasaan para begu, roh-roh halus yang terdapat di seluruh alam semesta ini.
Manusia menjadi merasakan ketergantungan hidup kepada roh-roh orang mati
tersebut. Demikian juga halnya dalam doa versi Batak (tonggotonggo), yang sering diucapkan oleh para datu (dukun) memang disebutkan juga nama debata tetapi nampak tekanan bukan terhadap mereka, tetapi pertama
terhadap para begu, roh-roh orang
mati (roh nenek moyang) dan kemudian kepada debata.[43]
Kehadiran tondi dalam tubuh
manusia merupakan faktor penentu bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia.
timbulnya sesuatu penyakit, kemalangan, kegelisahan, tidak punya anak, dan lain
sebagainya adalah disebabkan oleh kelemahan yang dialami oleh tondi, atau karena kepergian tondi meninggalkan tubuh orang yang
bersangkutan. Sejak kelahirannya manusia berhak untuk memiliki tondi. Ada tujuh belas roh dalam tondi seseorang yang dipersiapkan oleh
Mulajadi Nabolon kepada manusia, dan ketujuh belas roh itu telah disematkan
kepada manusia yang pertama. Apabila tujuh belas roh kehidupan yang berhak
dimiliki oleh manusia ada bersemayam pada diri seseorang maka itulah pencapaian
tertinggi dari seseorang yang hidup di dunia dan dia dapat disebut menjadi
manusia setengah dewa. Apabila ketujuh belas roh yang bersemayam dalam tubuh
manusia dapat bersinergi secara bersama-sama maka manusia itu akan disebut
sempurna dan menjadi manusia setengah dewa yang memiliki hikmat, bijaksana,
sehat jasmani, dan rohani.
Bagi orang Batak sahala adalah sesuatu yang bersifat supranatural (gaib)
yang dimiliki oleh seseorang yang penilaiannya bersifat baik dan peruntukannya
juga untuk kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Sahala adalah
bentuk reinkarnasi dari suatu perilaku yang baik yang dilakukan oleh seseorang
yang sudah menjadi leluhur yang dimuliakan dan diturunkan kepada generasi
keturunannya baik secara alami hadir kembali atau melalui peniruan sikap dan
perilaku yang dipraktekkan. Semua orang Batak menginginkan mendapat sahala
dalam dirinya, dan bahkan berkeinginan mendapatkan sahala dari Tuhannya. Sahala
juga roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki
sahala. Sahala sama dengan kesaktian yang dimiliki oleh para raja. Maka orang
Batak menyakini tidak akan ada orang yang semasa hidupnya jahat akan menjadi
sahala, tetapi yang menjadi sahala adalah orang yang semasa hidup berbuat kebaikan
dan tidak akan pernah orang yang berbuat jahat semasa hidupnya akan menjadi
sahala.
Setiap marga pada bangsa Batak ada memiliki tempat-tempat keramat yang
umumnya berlokasi di sekitar perkampungannya, tetapi tidak semua marga memiliki
tempat keramat yang disebut Sombaon.
Tempat keramat yang dimaksudkan ada yang ditakuti dan ada pula yang memang
diperlukan. Tempat keramat yang ditakuti biasanya dihuni oleh roh-roh jahat
yang bergentayangan. Tempat seperti ini biasanya berada di tengah hutan, di
hulu sungai, di pohon besar yang berkesan angker. Sementara tempat keramat yang
sengaja dipersiapkan memang diperlukan untuk komunitas masyarakat yang ada di
setiap perkampungan seperti sumber air bersih untuk kebutuhan minum disebut
Homban. Tempat-tempat keramat yang memang sengaja dipersiapkan harus dilakukan
dengan sebuah acara ritual dan melakukan tonggotonggo kepada Mulajadi Nabolon
dan dewa-dewa penguasa langit dan bumi, dengan harapan bahwa tempat tersebut
menjadi media pembawa berkat, kesehatan, rejeki bagi penghuni kampung. Maka unutk menentukan tempat seperti ini
dibutuhkan sesajen. Dalam hal Sombaon
maka secara bergenerasi turun-temurun, bahwa Sombaon adalah tempat bersemayamnya roh leluhur yang penuh hikmat
dan bijaksana. Tentu saja roh Sombaon
tidak ditakuti oleh para keturunannya dan mereka pada saat-saat tertentu
memberikan sesembahan sambil berdoa agar Sombaon
melindungi keturunannya menuju hal-hal yang baik dalam keturunannya.
Tondi dari junjungan leluhur yang hidup sebagai Sombaon diyakini dapat berhubungan
dengan keturunannya dalam kondisi spiritual. Pemujaan pribadi dapat dilakukan
oleh orang per orang dari keturunannya, tetapi untuk hal-hal yang besar dapat
juga dilakukan melalui perhelatan besar. Biasanya perhelatan besar ini dilakukan
apabila dalam kehidupan keturunannya mengalami banyak musibah, gagal panen,
wabah, musim kering berkepanjangan, dan hal-hal buruk yang bersifat missal dan
berkesinambungan. Dalam prakteknya akan dipersiapkan secara matang yang
melibatkan tua-tua marga secara bersama-sama. Sesajen dipersiapkan dari bahan
yang lazim ditambah dengan sesmbahan makanan yang disukai selama hidupnya.
Dalam perhelatan ini seorang media yang disebut Datu diikutsertakan untuk
pemanggilan roh. Pada saat acara berlangsung, para peserta acara berpakaian
adat lengkap dengan ulos, perangkat gendang (gondang) ditabuh, tarian ritual (tortor) dihentakkan. Mediator Datu melakukan gerakan-gerakan yang
tak lazim. Pada saat Datu yang mengalami trance (kesurupan) menandakan ada
arwah yang masuk ke dalam tubuhnya. Biasanya wajahnya mengalami perubahan
bentuk, suaranya berubah, dan perubahan ini umumnya diketahui oleh generasi
keturunan dari roh yang datang tersebut.
Masyarakat Batak meyakini bahwa Sumangot adalah bentuk arwah dari garis keturunan yang sudah
meninggal. Jadi Sumangot adalah
bentuk arwah yang dikenal olehnya dan secara batin tidak ditakuti, tetapi dalam
prakteknya bisa jadi penampakan yang menakutkan bagi dirinya, yang umumnya
berkaitan dengan perbuatan. Sebagai contoh, seorang ayah yang selama hidupnya
terhormat di masyarakat dan keluarga. Apabila ada keturunannya melakukan
hal-hal yang tidak baik dan dulunya menjadi sesuatu yang tidak disenangi oleh
sang ayah yang meninggal tersebut, maka ada kalanya seorang yang berbuat
ketidakbaikan itu akan melihat penampakan mendiang ayahnya. Penampakan tersebut
menjadi suatu peringatan baginya untuk tidak melakukan hal yang tidak baik itu
di dalam hidupnya. Penampakan roh (Sumangot)
seseorang dapat juga menjadi penghibur apabila penampakan itu terjadi pada
seseorang yang sedang putus asa dalam kehidupannya. Penampakan Sumangot kepada seseorang menjadi
motivasi bagi dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Oleh Karena itu, bentuk
roh ini tidak dianggap sebagai roh jahat yang dikenal, tetapi menjadi roh
kebaikan yang dari leluhur garis keturunannya.
III.
Kesimpulan
Semua
manusia pada dasarnya akan mati. Kita hanya menunggu kapan waktunya kita akan
mati, dan memang tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Hal yang perlu kita
pahami bahwa ketika orang akan mati maka kita semua yang mati akan kembali
kepada Allah. Ketika manusia mati, mka rohnya kembali kepada Allah, dan Allah
menempatkan roh itu dalam suatu tempat yaitu seol/hades. Seol/hades
merupakan sebuah eksistensi di mana setiap roh manusia yang telah mati berdiam
dan akan menunggu sampai hari penghakiman tiba. Begu adalah tondi atau
roh dari pada manusia yang telah meninggal dunia sebagaimana falsafah Batak
tentang kemanusiaan yang mengatakan: sesudah manusia meninggal dunia maka
tubuhnya akan menjadi tanah (busuk), nafasnya menjadi angin dan roh atau tondi-nya akan menjadi begu, inilah yang
menimbulkan ketakutan bagi manusia yang masih hidup. Adanya perasaan ketakutan
ini menjadi faktor ketakutan utamanya timbulnya aktivitas orang Batak untuk
mengkultuskannya; dan pengkultusan inilah sebenarnya dasar kebaktian, yakni
suatu usaha menghormati dan memuja-muji para begu sesuai dengan kepercayaannya. Para begu akan menjadi marah apabila tidak dihormati. Maka setiap roh
yang diberi penghormatan setelah mati atau sering membawa sesajen ke makamnya
diyakini bahwa tingkatan akan semakin naik.
IV.
Daftar Pustaka
Alwell, Walter A., Evangelical
Dictionary of Theology, Baker Book House, Michigan, 1986
Artikel dari Hendra
Rey, Manusia dan Orang Mati, Edisi
077/VII/2006
Backer,
J., Theology Of The Old Testament Vol II,
Philadelpia, 1967
Barth, Karl, Dogmatics In Outline, London: SCM-Press LTD, 1958
Braaten, Carl E., Robert W. Jenson,
Christian Dogmatics I, Fortress Press, 1984
Browning,
W. R. F., Kamus Alkitab: Paduan dasar ke
dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012
Cameron,
W. J., “Roh” dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Chambert-Loir, Hanry & Anthony Reid, THE POTENT DEAD, Nort America:
University Of Hawai Press, 2002
de Vaux O. P, Rolanfd, Ancient Israel It’s Life and Institution, New York: Mcgraw-Hill
Book Company Inc, 1961
Drane, John, Old Testament Faith, England: Lion Publishing, 1986
Drynes,
William, Tema-tema dalam Teologi
Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Feyerabend,
Karl, Legenscheidt Sastra Pocket Hebrew
Dictionary, Germany: Legenscheidt Hodder and Soughton, 1961
Fleming, Don, Bible Knowledge Dictionary, England: Scripture, 1990
Friedrich, Gerhard, Theological Dictionary of The
New Testament, Michigan: WM.B. Eerdmans Publishing Company, Grand
Rapids, 1968
Koentjaraningrat,
Manusia dan Budaya di Indonesia,
Jakarta: Jambatan, 1992
Lumbantobing,
Darwin, Teologi Pasar Bebas,
Pematangsiantar: L-SAPA, 2008
Moris,
L. L., “Mati” dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Pasaribu, Rudolf H., Agama Suku dan Batakologi, Medan: Penerbit Pietir, 1988
Pederson,
Paul B., Batak Blood and Protestant Soul: The
Devolopment of Nation Batak Churches in North Sumatera, Michigan:William B. Eeardmans Publishing Company, 1970
Philip,
Tobing, The Structure Of The Toba-Batak
Belief In The High God, South and South East Celebes: Institute For
Culture, 1952
Poerwardarminta,
W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007
Prince,
Derek, Kebangkitan Orang Mati,
Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993
Schrainer,
L., Adat dan Injil, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003
Shu,
Ming Shung, “Disertasi”, Injil dan
Penyembahan Nenek Moyang, STT Jakarta, 1998
Siahaan, Bisuk, Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu, Jakarta: Kempala
Foundation, 2005
Tambunan, E. H., Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya Sebagai
Sarana Kehidupan, Bandung: Tarsito, 1982
Verguowen, J. C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak, Jakarta: Pustaka Azet, 1986
Vriezen,
Th. C., Agama Israel Kuno, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009
Warneck, J., (Penerjemah: P. Leo Joosten) Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia, Medan: Bina Media, 2001
[2] W. R. F.
Browning, Kamus Alkitab: Paduan dasar ke
dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012), 386
[3] W. J.
Cameron, “Roh” dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 317
[4] J. Warneck, (Penerjemah: P. Leo Joosten) Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia, (Medan: Bina Media, 2001), 352
[5] Bisuk Siahaan, Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu,
(Jakarta: Kempala Foundation, 2005), 19-21
[6] J. C. Verguowen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak,
(Jakarta: Pustaka Azet, 1986), 92
[7] E. H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan
Kebudayaannya Sebagai Sarana Kehidupan, (Bandung: Tarsito, 1982), 48-49
[8] …………, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2005), 316-317
[9]Gerhard Friedrich, Theological
Dictionary of The New Testament, (Michigan: WM.B. Eerdmans
Publishing Company, Grand Rapids, 1968), 332-455.
[11] L. L.
Moris, “Mati” dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 35
[17] Karl
Feyerabend, Legenscheidt Sastra Pocket
Hebrew Dictionary, (Germany: Legenscheidt Hodder and Soughton, 1961), 171
[21] John Drane, Old Testament Faith, (England: Lion Publishing, 1986) 74-75
[22] Rolanfd de Vaux O. P, Ancient
Israel It’s Life and Institution, (New York: Mcgraw-Hill Book Company Inc,
1961), 56-61
[23] Artikel dari Hendra Rey, Manusia dan Orang Mati, Edisi
077/VII/2006
[24] W. R. F.
Browning, Kamus Alkitab: Paduan dasar ke
dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012), 128
[28] Tobing
Philip, The Structure Of The Toba-Batak
Belief In The High God, (South and South East Celebes: Institute For
Culture, 1952), 97-98
[32] Hanry Chambert-Loir &
Anthony Reid, THE POTENT DEAD, (Nort
America: University Of Hawai Press, 2002), 101
[35] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 82-88
[36] Paul B.
Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches
in North Sumatera, (Michigan:William B. Eeardmans Publishing Company,
1970), 29
[39] Paul B.
Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches
in North Sumatera, 28
[41] Paul B.
Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches
in North Sumatera, 29-30