Pengikut

Senin, 14 Maret 2016



ROH ORANG MATI
(Studi Teologi Religionum Tentang Pemahaman Roh Orang Mati menurut Kristen dan Parmalim serta Implikasinya Bagi Kehidupan Umat Kristen)
I.                   Latar Belakang Masalah
Hidup dan mati adalah sifat kodrat manusia. Siapa saja dapat dipanggil Tuhan sewaktu-waktu. Kematian atau maut sampai saat ini tidak dapat dikalahkan oleh siapapun dan tidak dapat dihindarkan. Hidup manusia di dunia ini hanyalah dalam jangka waktu yang terbatas, apabila orang mengalami kematian hal itu berarti segala kehidupannya di dunia ini telah lenyap. Kematian adalah perpisahan antara tubuh dengan jiwa/roh. Kematian merupakan suatu fakta penting dalam kehidupan, suatu sumber harapan-harapan dan ketakutan-ketakutan kita yang paling besar. Disamping itu, kematian adalah suatu proses yang akan dialami oleh setiap manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Kematian seseorang pada umumnya dipandang sebagai suatu peristiwa yang sedih bagi sanak keluarga yang ditinggalkannya maupun sebagai suatu kemalangan yang secara potensial membawa konsekuensi-konsekuensi. Roh-roh orang yang meninggal dianggap berbahaya, maka segera sesudah mati, mereka diyakini pergi ke suatu tempat. Karena roh-roh itu dianggap berbahaya maka sebagian besar masyarakat melakukan suatu upacara ritual untuk mengantar mereka menuju tempat terakhir. Pembangunan monumen-monumen pemakaman Batak Toba (tugu) dianggap sebagai cara Batak melaksanakan perintah Allah dalam Kekristenan untuk menghormati ayah dan ibu.
Kematian berarti akhir dari segala aktivitas kehidupan, kematian juga dialami oleh jiwa. Kematian adalah tujuan setiap orang, yang merupakan sisi negatif dari hidup ketika kematian itu digambarkan seperti setan atau kejahatan. Kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Mati berarti hal yang terakhir dari kemungkinan yang diberikan kepada kita. Walaupun kita dapat membedakan kematian fisik dan metafisik, namun semuanya itu tidak dapat dipisahkan dan yang terjadi adalah berakhirnya segala sesuatu dari keberadaan ciptaan itu, apapun yang terjadi dalam kematian haruslah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dari sifat kesinambungan hidup. Inilah yang merupakan hukuman bagi hidup yaitu bahwa kematian merupakan bagian terpenting dalam hidup. Maka dalam hal ini bagaimana sebenarnya pemahaman Kristen dan Parmalim tentang Roh Orang Mati.

II.                Pembahasan
2.1.       Pengertian Roh
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia roh diartikan sesuatu (unsur) yang ada di jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa.[1] Dalam Kamus Alkitab roh berasal dari bahasa Ibrani ruakh yang berarti angin (Kel. 10:13) atau nafas (Kej. 6:17), atau kuasa ilahi (Yeh. 39:9). Dalam Perjanjian Baru, kata Yunani pneuma mempunyai arti luas, yang menunjukkan kuasa pemberi kehidupan yang tak terlihat.[2] Pneuma berarti angin dan pneuma dapat juga berarti unsur diri manusia yang tetap lestari sesudah kematian (Mrk. 27:50; Luk. 8:55; Yoh. 19:30; Kis 7:59; Ibr 12:23; 1Ptr. 3:18-19; Why. 11:11).[3] Dalam Kamus Bahasa Batak-Indonesia, tondi adalah jiwa, roh, sukma manusia, kepribadiannya (tondi) yang terjadi sewaktu manusia masih berada dalam rahim ibu dan menentukan takdir, nasibnya, kemudian manusia menjadi sakit, itulah sebabnya orang memberikan persembahan kepada (tondi) dan berikhtiarkan agar dia berbalik hati.[4]
Tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk batu, besi atau peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tenaga itulah yang membentuk energi potensial di dalam makhluk yang ditempatinya. Tondi menyertai orang selama hidupnya, jika tondi meninggalkan seseorang buat sementara, maka orang itu akan jatuh sakit. Jika tondi meninggalkan tubuh seseorang untuk selama-lamanya maka orang itu akan mati. Tondi dapat keluar dari jasad manusia.[5]
Masyarakat Batak memiliki pemahaman tentang tondi. Pemahaman tersebut timbul karena setiap pemahaman manusia diyakini memiliki tondi dalam menopang kehidupannya. Menurut anggapan orang Batak, tondi seseorang itu berada di dalam tubuh serta dianggap sebagai dirinya sendiri. Itu sebabnya, tondi dipahami sebagai suatu pribadi. Tondi menyertai seseorang selama hidupnya. Akan tetapi jika seseorang itu sakit, maka tondi tersebut meninggalkan tubuh selama penyakit seseorang itu belum sembuh. Apabila tondi meninggalkan tubuh, maka diadakan mangalap tondi, artinya memanggil kembali tondi yang ”minggat” atau keluar meninggalkan tubuh. Apabila seseorang itu meninggal maka tondi meninggalkan jasad untuk selama-lamanya.[6] Tondi itu ada di dalam setiap aspek orang termasuk rambut, kutu, keringat, air mata, kencing, kotoran, bayangan, dan bahkan dalam nama-namanya. Untuk membersihkan tondi maka diadakanlah upacara.[7]
Dalam Perjanjian Lama yaitu dalam bahasa Ibrani untuk menyebut kata roh dipakai kata ruakh yang berarti angin dan juga berarti berkuasa, bahkan dapat juga diartikan dengan merusak (Kel. 10:13; Ayub 21:18). Dalam psikologi, ruakh berarti pendorong yang dominan (Kej. 26:35; Bil. 5:14). Kata benda ruakh berasal dari kata kerja yang berarti mengeluarkan nafas dengan kuat dari hidung. Kadang-kdang kata itu mengandung arti pusat hidup yang searti dengan nefesy, yaitu makhluk hidup.[8] Kitab Perjanjian Baru menerjemahkan Roh dalam bahasa Yunani adalah pneuma dan parakletoV. Kata pneuma yang mempunyai arti angin; nafas; hidup dan; jiwa. Roh mempuyai sifat yang kekal dan bersumber dari yang maha kuasa (Allah) yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.[9]
2.2.       Pengertian Mati
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mati diartikan sesuatu yang sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi, tidak bernyawa, tidak pernah hidup.[10] Dari satu sudut kematian termasuk peristiwa yang lumrah, manusia ditetapkan hanya mati satu kali saja (Ibr. 9:27). Dari sudut pandang yang lain, maut atau kematian merupakan hal yang paling tidak wajar. Maut adalah upah dosa (Rm. 6:23), karena itu patut ditakuti. Kedua sudut pandang ini terdapat  dalam Alkitab, dan tidak boleh dilalaikan. Secara biologis kematian adalah keharusan, tetapi kematian manusia tidaklah seperti kematian binatang.[11]
Dalam bahasa Yunani kematian disebut thanatos. Thanatos berarti bentuk kematian atau keadaan mati. Tetapi kata ini juga dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya yang mematikan, bagaimana kematian, ancaman kematian. Thanatoo berarti membuat seseorang mati, membunuh, dan mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian adalah jangka waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan.[12] Dalam Perjanjian Lama kematian berarti akhir kesudahan dari keberadaan seseorang (2 Sam. 12:15; 14:14). Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Jiwa diartikan sebagai sheol (hades) yang tidak ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades (ruang antara kematian dan penghakiman akhir).[13] Kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Mati berarti hal yang terakhir dari kemungkinan yang diberikan kepada kita. Walaupun kita dapat membedakan kematian fisik dan metafisik, namun semuanya itu tidak dapat dipisahkan dan yang terjadi adalah berakhirnya segala sesuatu dari keberadaan ciptaan itu, apapun yang terjadi dalam kematian haruslah dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dari sifat kesinambungan hidup. Inilah yang merupakan hukuman bagi hidup yaitu bahwa kematian merupakan bagian terpenting dalam hidup yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan.[14]
2.3.       Pengertian Orang Mati
Kematian manusia adalah juga kematian tubuh dan rohnya, tentu memiliki alasan, baik secara Alkitabiah dan filosofis. Secara filosofis manusia yang hidup adalah mempunyai tubuh dan roh. Tubuh adalah fana dan roh adalah kekal. Dalam pemahaman ini, keberadaan manusia harus dipahami secara totalitas. Bahkan manusia jasmani tanpa manusia rohani tidak boleh dibedakan. Tidak ada manusia jasmani tanpa manusia rohani, demikian juga sebaliknya. Manusia hidup atau mati harus dipahami secara utuh mempunyai tubuh dan roh. Oleh karena itu, pandangan ini mengatakan kalau manusia mati, maka kematiaannya adalah secara totalitas, baik tubuhnya maupun rohnya. Manusia tidak terpisahkan dari tubuh dan roh. Manusia tidak mungkin mengalami mati hanya sebahagian dari keberadaannya, sedangkan yang sebagian lagi kebal terhadap kematian.[15] Dalam Kolose 3:3 Paulus memahami kematian sebagai kepergian kepada kehidupan bersama-sama Kristus yang tersembunyi pada Allah.[16]
2.4.       Pandangan Orang Kristen Tentang Roh Orang Mati
Dalam Bahasa Ibrani kematian disebut dengan kata maweth yang artinya adalah maut kematian (Im. 11:14; Bil. 16:19; 1Sam. 20:31; Mzm. 13:14).[17] Kata ini juga dipakai menuju proses kematian (Kej. 21:26), masa kematian (Kej. 27:7). Manusia harus kembali kepada tanah sebab manusia itu berasal dari tanah (Kej. 3:19).[18] Pada waktu mati roh orang mati akan berada di seol yaitu kerajaan orang mati, dimana tidak ada kelangsungan hidup di dalamnya. Ditempat ini orang mendapat perhentian bersama nenek moyangnya (Kej. 37:35; 1Raj. 2:10). Dalam Perjanjian Lama seol menandakan kematian, kegelapan, dan tempat orang yang mati dikumpulkan.[19] Dalam Perjanjian Lama ada keyakinan bahwa keadaan orang di dalam dunia orang mati itu tidak sama.
Dalam Perjanjian Lama, kata yang dipakai untuk menjelaskan dunia orang mati adalah seol (שאול). Seol secara sederhana dapat diartikan sebagai tempat atau keberadaan orang mati. Dalam terjemahan bahasa Inggris, seol diartikan: dunia orang mati, kubur dan lubang.[20] Israel kuno memahami seol sebagai bagian bawah bumi (Bil. 16:30-33, Am. 9:2). Mereka menggambarkan seperti memasuki sebuah gerbang, sebuah kegelapan, suatu daerah yang muram, yang keberadaannya tidak aktif. Mereka memandangnya sebagai suatu tempat di mana semua roh manusia yang mati akan pergi kesana tanpa terkecuali. Gambaran  yang paling umum dalam perjanjian Lama tentang kehidupan setelah mati adalah kehidupan yang samar-samar. Terkadang keberadaan di sana dikatakan seperti hukuman penjara, orang mati yang terisolasi dari Allah dan sama sekali tidak acuh terhadap apapun (Mazmur 30:9).[21]
Perjanjian Baru dengan bahasa aslinya bahasa Yunani menggunakan kata hades (άδης) untuk menunjukkan pada konsep dunia orang mati. Hades diterjemahkan sebagai dunia orang mati, dunia yang tidak kelihatan, yang mana semua orang mati akan memasukinya pada saat kematian.[22] Alkitab menjelaskan bahwa roh orang mati akan masuk ke dalam tempat perhentian atau dunia orang mati. Tempat perhentian atau dunia orang mati itu menjadi dua bagian, yaitu: pertama, bagi orang yang tidak percaya bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus akan masuk ke dalam tempat perhentian yang disebut dengan hades. Hades adalah tempat perhentian, bukan neraka. Di tempat ini ada penderitaam dan kesakitan yang hebat sambil menunggu penghakiman terakhir oleh Yesus Kristus, yang kemudian mereka dimasukkan ke dalam neraka, tempat hukuman yang kekal. Orang yang masuk ke dalam hades pada waktu Yesus datang kedua kali. Kedua, tempat penantian upah sorgawi. Tempat penantian ini berisikan orang-orang yang selama hidupnya sungguh percaya kepada Yesus. Tempat ini disebut dengan Firdaus.[23]
Dalam Perjanjian Baru, kata hades merupakan terjemahan dari kata Ibrani seol, sebagai tempat kediaman orang mati, yang tetap ada dalam keadaan seperti bayangan (Pkh. 9:10). Di dalam hades dibayangkan bahwa sementara fisik akan menimpa mereka setelah mati (Luk. 16:23), tentu saja bagi orang-orang berdosa yang tidak bertobat (Mrk. 9:48). Hades/alam maut (Why. 20:13-14) dan maut dianggap sebagai alam demonis yang dikaitkan dengan laut (bnd. Mrk. 5:13). Ketika maksud Allah telah tercapai secara penuh, dengan tegaknya Kerajaan Allah yang kekal, maut (musuh terakhir, 1Kor. 15:26,54) dan hades/alam maut, tempat orang mati beristirahat, akan menyerahkan seluruh penduduknya.[24]
Kematian bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup  kepada kehidupan bersama Allah.[25]
Untuk itu maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri:
1.  Kematian adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang kompleks.
2.  Kematian adalah suatu hukuman, hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-23).
3.  Kematian adalah panggilan untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukum tapi juga kabar sukacita, bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23).
Seol dan hades merupakan sebuah eksistensi di mana setiap roh manusia yang telah mati berdiam dan akan menunggu sampai hari penghakiman tiba. Berdiamnya roh manusia bukan merupakan keadaan mati, tetapi keadaan menunggu. Pada waktu kematian roh orang mati akan turun ke seol yaitu kerajaan mati, di mana ia memang melanjutkan eksistensinya dalam bentuk bayang-bayang tetap dengan corak yang sebanding dengan sikapnya waktu dia masih hidup di dalam dunia (1Sam. 28:14).[26] Ciri khas seol adalah tidak ada kelangsungan hidup di dalamnya. Di tempat ini orang mendapat perhentian bersama nenek moyangnya (Kej. 37:35, 1Raj. 2:10) di tempat ini orang tidak dapat mengucap syukur (Yes. 28:18), dunia dan kebiasaannya tidak dapat menjangkauanya (Maz. 137:7-12, Am. 9:2). Dalam dunia orang mati tidak ada pengetahuan, tidak ada hikmat, tidak ada pekerjaan, pertimbangan (Pkh. 9:10). Kondisi yang telah mati tidak dapat merasakan kebencian, kecemburuan karena hal itu telah lama hilang (Pkh. 9:6) dan orang-orang yang telah mati tidak dapat memuliakan Tuhan atau mereka yang telah turun ke tempat sunyi tidak dapat memuliakan Tuhan (Mzm.115:17; 6:6; 88:11-13; Yes. 38:18-19). Dunia orang mati adalah rumah dan tempat tidur pada waktu kematian (Ayb. 17:13).[27]
Ketika manusia mati kemanakah rohnya? Berdasarkan Ayub 34:14-15, “Jika Ia menarik kembali Roh-Nya, dan pada-Nya, maka binasalah bersama-sama segala yang hidup, dan kemabalilah manusia kepada debu.” Pengkhotbah 12:7 “dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” Maka dalam kaitan hal ini manusia yang telah meninggal rohnya kembali kepada Allah, dan Allah menempatkan roh itu di dalam suatu tempat.
2.5.            Kematian Menurut Agama Parmalim
Pandangan suku Toba atau Parmalim tentang kematian adalah bahwa tubuhlah yang mati, sedangkan roh masih tetap hidup. Tentang hal ini juga dipahami bahwa seseorang yang mati itu maka daging gabe tano, hosa gabe alogo, tondi gabe bega (tubuhnya akan menjadi tanah, nafasnya menjadi angin, dan rohnya menjadi hantu). Dengan hubungan jiwa dan roh, parmalim mengenal tiga konsep tentang jiwa: tondi, sahala, dan begu. Tondi itu adalah jiwa atau roh yang sekaligus menjadi kekuatan yang menentukan jalan kehidupan dan nasib manusia.[28] Tondi merupakan keadaan yang kekal bersama tubuh selama masih hidup, karena itu manusia harus merawat tondi-nya agar mendapat kesejahteraan dalam dunia ini dan dalam dunia yang akan datang. Sedangkan, sahala adalah daya khas khusus dari tondi. Orang yang meninggal mempunyai sahala dan setiap orang yang masih hidup juga mempunyai sahala, atau dengan kata lain bahwa setiap manusia yang sesudah mati memiliki sahala.[29] Begu adalah roh yang sudah mati, tetapi begu adalah roh-roh alam dan termasuk semua roh yang menyusahkan orang dan juga memberikan kesejahteraan atau berkat kepada manusia. Begu ini tinggal di pohon-pohon tua atau batu-batu besar, di hutan yang tidak dilalui orang ataupun di puncak gunung, dan lain-lain yang tempatnya jauh dari manusia. Dan suku Toba mengakui bahwa begu mempunyai tingkah laku yang sama dengan manusia.[30] Sebagai akibat dari kepercayaan ini, suku Toba sangat menghormati begu apalagi mereka meyakini bahwa ada begu yang sangat berpengaruh dan lebih tinggi dari begu alamiah dan dari begu yang sudah biasa disembah, yaitu sombaon. Sombaon inilah begu yang sangat berpengaruh dan paling berkuasa dari begubegu lainnya. Karena itu begu ini harus mendapat penghormatan yang lebih khusus dari penghormatan kepada begu lain.[31]

2.6.            Tondi menurut Parmalim
Pemujaan kepada roh leluhur dan kepada begu jauh lebih meriah daripada pemujaan kepada pada Dewata. Sesuai dengan falsafah hidup orang Batak yang animistis, menganggap dirinya sangat tergantung pada kekuatan misterius yang ada pada manusia dan alam, sehingga menjadikannya sebagai objek yang harus dipuja supaya memperoleh berkat dan juga untuk menangkal malapetaka. Dan adakalanya orang berusaha menguasai kekuatan magis tersebut dengan tujuan untuk mencelakakan musuhnya. Kepercayaan animisme sangat erat hubungannya dengan pemujaan roh (bahasa Batak: tondi). Dipercayai bahwa roh atau tondi yang terdapat pada makhluk hidup adalah daya hidup, yang membuat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dapat bertahan hidup. Tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk batu, besi atau peralatan yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari. D. Joh. Warneck, tondi mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.         Tondi sigomgom, yaitu tondi yang tidak pernah meninggalkan tubuh yang ditinggalinya, terkecuali kalau sudah meninggal.
2.         Tondi sijungjung, yaitu tondi pelindung.
3.         Tondi sipalospalos, yaitu roh jahat yang menyebabkan penyakit.
4.         Tondi sibatoha, yaitu tondi yang mempunyai daya cipta.
5.         Tondi sipalilohot, yaitu tondi yang menjadikan seseorang kaya.
6.         Tondi siparorot, yaitu tondi pengasuh.
7.         Tondi saudara, yaitu tondi yang tidak menyatu dengan tubuh, tetapi bergabung dengan plasenta dan turut dikuburkan.
Kekuatan dari roh nenek moyang memiliki pengaruh yang sangat besar akan kehidupan seperti menjadi kaya, memiliki kekayaan, kekuatan, materi, dan keturunan yang banyak. Kekuatan dari nenek moyang dalam suku Batak Toba disebut Sumangot ni Ompu (pemujaan terhadap roh nenek moyang).[32]
2.7.            Pandangan Agama Parmalim Tentang Roh Orang Mati
Begu adalah tondi atau roh dari pada manusia yang telah meninggal dunia sebagaimana falsafah Batak tentang kemanusiaan yang mengatakan: sesudah manusia meninggal dunia maka tubuhnya akan menjadi tanah (busuk), nafasnya menjadi angin dan roh atau tondi-nya akan menjadi begu, inilah yang menimbulkan ketakutan bagi manusia yang masih hidup. Adanya perasaan ketakutan ini menjadi faktor ketakutan utamanya timbulnya aktivitas orang Batak untuk mengkultuskannya; dan pengkultusan inilah sebenarnya dasar kebaktian, yakni suatu usaha menghormati dan memuja-muji para begu sesuai dengan kepercayaannya. Para begu akan menjadi marah apabla tidak dihormati.[33]
Kepercayaan orang Batak purba disebut juga dengan “parmalim” yang mempunyai hubungan yang sangat erat antara pencipta dengan ciptaannya. Salah satu kepercayaan yang menjadi dasar bagi parmalim, bahwa tidak hanya manusia yang mempunyai jiwa atau roh melainkan semua yang ada di alam seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan benda mati lainnya. Arwah orang yang sudah meninggal, tetap berhubungan dengan para anggota suku yang masih hidup dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas orang yang masih hidup.[34]
Dalam pemahaman Batak Toba, manusia yang sudah mati rohnya akan berubah menjadi begu. Pemahaman ini juga didukung oleh filsafat Batak itu sendiri yaitu Hosa gabe alogo, daging gabe tano, jala tondi gabe begu (nafas menjadi angin, tubuh menjadi tanah dan roh menjadi hantu). Batak Toba memahami bahwa roh-roh dari manusia yang sudah mati dapat memberikan berkat duniawi dan sebagian besar nasib manusia bergantung pada roh-roh orang mati tersebut (begu), juga diyakini dapat memberikan kesehatan, rejeki, dan umur yang panjang. Sehingga peranan begu dalam pemahaman Batak Toba sangat besar.[35]
Dalam budaya orang batak roh manusia yang meninggal itu menjadi begu tetapi begu orang yang mati itu mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung sifat roh dan almarhum inilah yang disebut dengan begu ni tondi. Dalam hal ini dijelaskan bahwa setelah manusia itu meninggal, fisiknya menjadi hancur. Tetapi tondi-nya atau rohnya (termasuk di dalamnya sahala-nya atau wibawanya/nasibnya) akan berubah menjadi begu. Dengan kata lain selama manusia hidup rohnya disebut tondi, tetapi bila ia mati akan disebut begu. Kemudian dipahami bahwa begu tersebut menjalani proses perubahan lanjutan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni ke tingkat sumangot hingga ke tingkat sombaon. Tingkat sombaon inilah yang dianggap oleh Batak Toba sebagai hatuaon (keselamatan). Karena sombaon dianggap tinggal bersama dengan Dewata, dan secara khusus dapat menyalurkan berkat-berkat Dewata kepada keturunan-keturunannya. Maka dari hal ini dipahami bahwa begu juga dapat mendukung atau menopang pekerjaan/usaha para keturunannya. Sehubungan dengan sahala itu masih melekat padanya. Itu sebabnya dianggap bahwa orang yang masih hidup bisa memohon pertolongan kepada sahala orangtuanya. Dengan kata lain sahala yang meninggal dapat membantu perjuangan orang yang hidup.[36]
1.      Sahala
Sahala merupakan salah satu aspek yang nyata daripada tondi menurut kepercayaan orang Batak. Realisasi ucapan ini Nampak dalam salah satu pernyataan yang sering diucapkan dalam adat Batak “Martondi na mangolu marsahala na mate” artinya “orang yang hidup mempunyai tondi tetapi sahala dipunyai orang yang sudah meninggal dunia.[37]
2.      Begu
Di dalam buku yang disususn Ph. Tobing dapat dicatat bahwa menurut kepercayaan orang Batak kuno, segera sesudah manusia meninggal dunia maka tondi-nya akan menjadi begu. Ada dua macam yang disebut dengan begu yakni: roh-roh alam yang ada di dunia ini dan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia. Begu berkeliaran di seluruh benua tengah ini, dan mereka juga mengalami kematian dan kebangkitan kembali. Begu juga mempunyai posisi, jabatan di tengah-tengah masyarakat begu sebagaimana kedudukan yang dimilikinya semasa hiduonya, melakukan pekerjaan, mencari nafkah, dan lain sebagainya. Orang Batak mempercayai bahwa begu dapat berhubungan dengan para keluarganya yang masih hidup, oleh karena itulah para keluarga yang masih hidup sering memberikan makanan kepada mereka agar begu tidak marah dan melakukan tindakan kejahatan terhadap keluarganya yang masih hidup. Semakin banyak sesajian, persembahan yang diberikan kepada begu, dipercayai bahwa mereka akan semakin lebih tinggi martabatnya di tengah-tengah masyarakat begu. Apabila martabat dan status kedudukan begu semakin meningkat, maka diharapkan dia akan beralih bukan hanya seabagai begu saja tetapi sudah berada dalam status “sombaon” yakni yang harus disembah.[38]
3.      Sumangot (roh yang dipuja)
Sumangot mempunyai tempat yang khusus terutama mereka yang dulunya dianggap kaya, mempunyai kekuasaan dan mempunyai keturunan yang banyak, roh mereka disebut sumangot, yang ia diminta disembah, dihormati dengan sesajen agar tetap bisa ikut mensejahterakan keturunannya. Jika penyembahan dilalaikan maka mengakibatkan malapetaka. Jika pada masa hidupnya lelehur mereka mempunyai kedudukan yang penting, maka diyakini juga pada dunia roh memiliki kedudukan yang penting juga. Penghormatan kepada mereka akan meningkat dengan bertambahnya keturunan. Sumangot ingin disembah dan dihormati dengan sesajen agar terus bergiat mensejahterakan keturunan. Dengan demikian panen akan melimpah, terhindar dari bencana atau hidup sejahtera. Tetapi sebaliknya jika roh itu dilalaikan maka malapetaka akan datang menimpa. Biasanya masyarakat akan ke datu untuk menanyakan apakah leluhurnya murka (tarrimas). Jika memang demikian halnya, datu akan menentukan macam pengorbanan yang mesti dilakukan. Kadang-kadang roh mengungkapkan kehendak dan keinginannya melalui perantara yang kerasukan roh pada suatu peristiwa khusus.[39] Batak mempercayai sumangot hanya dimiliki oleh nenek moyang yang sudah lama meninggal dunia. Sumangot bisa menjadi berkat bagi orang Batak apabila selalu menghormati roh nenek moyangnya.[40]

4.      Sombaon (roh yang disembah)
Leluhur besar mendapat penghormatan sesuai dengan kedudukannya. Tetapi penghormatan yang lebih besar diberikan kepada sumangot jika jalur keturunannya tumbuh menjadi marga yang besar atau menjadi kelompok suku. Ia diangkat keperingkat yang tertinggi dalam dunia roh dan mendekati kedudukan dewata yaitu sombaon. Sombaon mempunyai kuasa untuk mengutuk dan memberkati keturunannya yang masih hidup. Didorong oleh keyakinan inilah orang batak Toba untuk meninggikan makam orangtuanya sebagai pernyataan penghormatan tertinggi.[41]
Setiap marga di tengah-tengah masyarakat Batak merasa beruntung apabila diantara nenek moyangnya telah ada yang naik pangkat menjadi sombaon. Karena dengan naik pangkatnya mereka menjadi sombaon maka marga mereka telah turut serta dalam daftar-daftar penguasa dan pemerintah atas masyarakat yang hidup. Sombaon dipercaya dekat sekali atau sama dengan para debata yang menguasai kehidupan manusia. Maka, diharapkan bahwa kehidupan marga mereka akan terjamin, yakni jauh dari segala bentuk penyakit, kelemahan dan mendapat berkat, kebahagiaan, keturunan yang banyak di atas dunia.[42]
2.8.            Implikasi Bagi Kehidupan Umat Kristen
Pemahaman roh orang mati menurut Kristen dan Parmalim mempunyai pendapat yang berbeda. Masing-masing agama memiliki dasar teologis tersendiri untuk memperkuat pandangan mereka tentang roh orang mati. Sebagaimana keanggotaan dalam tubuh Kristus mengalahkan kematian, yaitu tidak diremukkan oleh kematian, demikianlah juga keanggotaan suatu golongan orang percaya tidak dihancurkan oleh kematian. Persekutuan dengan Kristus secara vertikal sesudah mati. Itu berarti bahwa persekutuan dengan Kristus mengandung persekutuan horizontal diantara anggota yang berhubungan satu sama lain di dalam Tuhan. Orang-orang Kristen yang meninggal, oleh karena dan sepanjang mereka berada di dalam Kristus, juga berada dalam persekutuan dengan mereka berjuang di dunia ini. Hubungan horizontal orang-orang hidup dengan orang-orang mati dalam Kristus berlangsung karena keanggotaan mereka dalam tubuh Kristus dan hanya dalam, dengan, dan melalui Kristus. Sifat persekutuan antara orang yang hidup dan orang yang mati ditentukan selanjutnya oleh kenyataan bahwa kelompok itu sama-sama menantikan penggenapan hari Tuhan (1Yoh. 3:2).
Budaya batak Toba meyakini akan adanya kehidupan roh manusia setelah mati di bumi ini, sehingga kepercayaan akan kematian itu hanyalah tubuh yang mati, sedangkan roh tetap hidup di dalam suatu bentuk yakni begu. Begu ini mempunyai pengaruh dan kekuatan untuk penghukum atau memberkati manusia yang hidup. Dengan kepercayaan ini masyarakat Toba masih meyakini dan melakukan pemujaan arwah roh nenek moyang. Melihat dari Matius 27:51-53, tentang kebangkitan orang-orang kudus yang telah meninggal, lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang. Dari hal ini dapat kita lihat bagaimana roh orang yang telah mati dan bangkit masih berada di dalam dunia ini yakni orang-orang yang semasa hidupnya selalu kudus. Sama halnya dengan pemahaman tentang roh orang mati dalam agama Parmalim yakni hanya orang yang baik dan suci semasa hidupnya yang layak menjadi Sombaon dan dianggap yang dapat memberikan berkat bagi para keturunannya, sehingga roh harus disembah. Sebaliknya, apabila orang yang sudah meninggal itu semasa hidupnya penuh dengan kesalahan dan dosa, maka setelah dia mati bukan menjadi Sahala melainkan Begu. Dengan kata lain, agama Kristen dan Parmalim sama-sama sangat menekankan dan mengajarkan perbuatan baik. Inilah implikasi yang dapat dilihat dari pokok bahasan ini yakni penekanan tentang perbuatan baik itu, meskipun memiliki makna yang berbeda dari kedua agama ini.
2.9.            Analisa Seminaris
Oleh masyarakat Batak bahwa di samping para debata masih ada kekuatan-kekuatan atau tenaga lain, yang erat berhubungan dengan kehidupan manusia. mereka selalu mendapatkan penghormatan setinggi-tingginya bahkan dapat dikatakan dihormati lebih tinggi daripada penghormatan kepada para debata. Kekuatan dan tenaga ini mempunyai pengaruh yang sangat besar menentukan kehidupan manusia, bahkan baik buruk kehidupan manusia adalah tergantung atas respon yang dilakukan manusia pada kekuatan dan tenaga roh atau tondi ini. Sehingga ada perasaan takut pada manusia ini menjadi faktor utama timbulnya aktivitas orang Batak untuk mengkultuskannya, yakni suatu usaha menghormati dan memuja para begu sesuai dengan kepercayaannya. Walaupun secara prinsipnya dapat dikatakan bahwa orang Batak kuno mengenal berbagai nama debata namun hal ini kurang begitu dipentingkan lagi oleh karena terdesak akan ketakutan yang berlebihan terhadap kekuasaan para begu, roh-roh halus yang terdapat di seluruh alam semesta ini. Manusia menjadi merasakan ketergantungan hidup kepada roh-roh orang mati tersebut. Demikian juga halnya dalam doa versi Batak (tonggotonggo), yang sering diucapkan oleh para datu (dukun) memang disebutkan juga nama debata tetapi nampak tekanan bukan terhadap mereka, tetapi pertama terhadap para begu, roh-roh orang mati (roh nenek moyang) dan kemudian kepada debata.[43]
Kehadiran tondi dalam tubuh manusia merupakan faktor penentu bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. timbulnya sesuatu penyakit, kemalangan, kegelisahan, tidak punya anak, dan lain sebagainya adalah disebabkan oleh kelemahan yang dialami oleh tondi, atau karena kepergian tondi meninggalkan tubuh orang yang bersangkutan. Sejak kelahirannya manusia berhak untuk memiliki tondi. Ada tujuh belas roh dalam tondi seseorang yang dipersiapkan oleh Mulajadi Nabolon kepada manusia, dan ketujuh belas roh itu telah disematkan kepada manusia yang pertama. Apabila tujuh belas roh kehidupan yang berhak dimiliki oleh manusia ada bersemayam pada diri seseorang maka itulah pencapaian tertinggi dari seseorang yang hidup di dunia dan dia dapat disebut menjadi manusia setengah dewa. Apabila ketujuh belas roh yang bersemayam dalam tubuh manusia dapat bersinergi secara bersama-sama maka manusia itu akan disebut sempurna dan menjadi manusia setengah dewa yang memiliki hikmat, bijaksana, sehat jasmani, dan rohani.
Bagi orang Batak sahala adalah sesuatu yang bersifat supranatural (gaib) yang dimiliki oleh seseorang yang penilaiannya bersifat baik dan peruntukannya juga untuk kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Sahala adalah bentuk reinkarnasi dari suatu perilaku yang baik yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menjadi leluhur yang dimuliakan dan diturunkan kepada generasi keturunannya baik secara alami hadir kembali atau melalui peniruan sikap dan perilaku yang dipraktekkan. Semua orang Batak menginginkan mendapat sahala dalam dirinya, dan bahkan berkeinginan mendapatkan sahala dari Tuhannya. Sahala juga roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan kesaktian yang dimiliki oleh para raja. Maka orang Batak menyakini tidak akan ada orang yang semasa hidupnya jahat akan menjadi sahala, tetapi yang menjadi sahala adalah orang yang semasa hidup berbuat kebaikan dan tidak akan pernah orang yang berbuat jahat semasa hidupnya akan menjadi sahala.
Setiap marga pada bangsa Batak ada memiliki tempat-tempat keramat yang umumnya berlokasi di sekitar perkampungannya, tetapi tidak semua marga memiliki tempat keramat yang disebut Sombaon. Tempat keramat yang dimaksudkan ada yang ditakuti dan ada pula yang memang diperlukan. Tempat keramat yang ditakuti biasanya dihuni oleh roh-roh jahat yang bergentayangan. Tempat seperti ini biasanya berada di tengah hutan, di hulu sungai, di pohon besar yang berkesan angker. Sementara tempat keramat yang sengaja dipersiapkan memang diperlukan untuk komunitas masyarakat yang ada di setiap perkampungan seperti sumber air bersih untuk kebutuhan minum disebut Homban. Tempat-tempat keramat yang memang sengaja dipersiapkan harus dilakukan dengan sebuah acara ritual dan melakukan tonggotonggo kepada Mulajadi Nabolon dan dewa-dewa penguasa langit dan bumi, dengan harapan bahwa tempat tersebut menjadi media pembawa berkat, kesehatan, rejeki bagi penghuni kampung.  Maka unutk menentukan tempat seperti ini dibutuhkan sesajen. Dalam hal Sombaon maka secara bergenerasi turun-temurun, bahwa Sombaon adalah tempat bersemayamnya roh leluhur yang penuh hikmat dan bijaksana. Tentu saja roh Sombaon tidak ditakuti oleh para keturunannya dan mereka pada saat-saat tertentu memberikan sesembahan sambil berdoa agar Sombaon melindungi keturunannya menuju hal-hal yang baik dalam keturunannya.
Tondi dari junjungan leluhur yang hidup sebagai Sombaon diyakini dapat berhubungan dengan keturunannya dalam kondisi spiritual. Pemujaan pribadi dapat dilakukan oleh orang per orang dari keturunannya, tetapi untuk hal-hal yang besar dapat juga dilakukan melalui perhelatan besar. Biasanya perhelatan besar ini dilakukan apabila dalam kehidupan keturunannya mengalami banyak musibah, gagal panen, wabah, musim kering berkepanjangan, dan hal-hal buruk yang bersifat missal dan berkesinambungan. Dalam prakteknya akan dipersiapkan secara matang yang melibatkan tua-tua marga secara bersama-sama. Sesajen dipersiapkan dari bahan yang lazim ditambah dengan sesmbahan makanan yang disukai selama hidupnya. Dalam perhelatan ini seorang media yang disebut Datu diikutsertakan untuk pemanggilan roh. Pada saat acara berlangsung, para peserta acara berpakaian adat lengkap dengan ulos, perangkat gendang (gondang) ditabuh, tarian ritual (tortor) dihentakkan. Mediator Datu melakukan gerakan-gerakan yang tak lazim. Pada saat Datu yang mengalami trance (kesurupan) menandakan ada arwah yang masuk ke dalam tubuhnya. Biasanya wajahnya mengalami perubahan bentuk, suaranya berubah, dan perubahan ini umumnya diketahui oleh generasi keturunan dari roh yang datang tersebut.
Masyarakat Batak meyakini bahwa Sumangot adalah bentuk arwah dari garis keturunan yang sudah meninggal. Jadi Sumangot adalah bentuk arwah yang dikenal olehnya dan secara batin tidak ditakuti, tetapi dalam prakteknya bisa jadi penampakan yang menakutkan bagi dirinya, yang umumnya berkaitan dengan perbuatan. Sebagai contoh, seorang ayah yang selama hidupnya terhormat di masyarakat dan keluarga. Apabila ada keturunannya melakukan hal-hal yang tidak baik dan dulunya menjadi sesuatu yang tidak disenangi oleh sang ayah yang meninggal tersebut, maka ada kalanya seorang yang berbuat ketidakbaikan itu akan melihat penampakan mendiang ayahnya. Penampakan tersebut menjadi suatu peringatan baginya untuk tidak melakukan hal yang tidak baik itu di dalam hidupnya. Penampakan roh (Sumangot) seseorang dapat juga menjadi penghibur apabila penampakan itu terjadi pada seseorang yang sedang putus asa dalam kehidupannya. Penampakan Sumangot kepada seseorang menjadi motivasi bagi dirinya untuk berubah menjadi lebih baik. Oleh Karena itu, bentuk roh ini tidak dianggap sebagai roh jahat yang dikenal, tetapi menjadi roh kebaikan yang dari leluhur garis keturunannya.

III.             Kesimpulan
Semua manusia pada dasarnya akan mati. Kita hanya menunggu kapan waktunya kita akan mati, dan memang tidak ada yang tahu kapan kita akan mati. Hal yang perlu kita pahami bahwa ketika orang akan mati maka kita semua yang mati akan kembali kepada Allah. Ketika manusia mati, mka rohnya kembali kepada Allah, dan Allah menempatkan roh itu dalam suatu tempat yaitu seol/hades. Seol/hades merupakan sebuah eksistensi di mana setiap roh manusia yang telah mati berdiam dan akan menunggu sampai hari penghakiman tiba. Begu adalah tondi atau roh dari pada manusia yang telah meninggal dunia sebagaimana falsafah Batak tentang kemanusiaan yang mengatakan: sesudah manusia meninggal dunia maka tubuhnya akan menjadi tanah (busuk), nafasnya menjadi angin dan roh atau tondi-nya akan menjadi begu, inilah yang menimbulkan ketakutan bagi manusia yang masih hidup. Adanya perasaan ketakutan ini menjadi faktor ketakutan utamanya timbulnya aktivitas orang Batak untuk mengkultuskannya; dan pengkultusan inilah sebenarnya dasar kebaktian, yakni suatu usaha menghormati dan memuja-muji para begu sesuai dengan kepercayaannya. Para begu akan menjadi marah apabila tidak dihormati. Maka setiap roh yang diberi penghormatan setelah mati atau sering membawa sesajen ke makamnya diyakini bahwa tingkatan akan semakin naik.
IV.             Daftar Pustaka
Alwell, Walter  A., Evangelical Dictionary of Theology, Baker Book House, Michigan, 1986
Artikel dari Hendra Rey, Manusia dan Orang Mati, Edisi 077/VII/2006
Backer, J., Theology Of The Old Testament Vol II, Philadelpia, 1967
Barth, Karl, Dogmatics In Outline, London: SCM-Press LTD, 1958
Braaten, Carl E., Robert W. Jenson,  Christian Dogmatics  I, Fortress Press, 1984
Browning, W. R. F., Kamus Alkitab: Paduan dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Cameron, W. J., “Roh” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Chambert-Loir, Hanry & Anthony Reid, THE POTENT DEAD, Nort America: University Of Hawai Press, 2002
de Vaux O. P, Rolanfd, Ancient Israel It’s Life and Institution, New York: Mcgraw-Hill Book Company Inc, 1961
Drane, John, Old Testament Faith, England: Lion Publishing, 1986
Drynes, William, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Feyerabend, Karl, Legenscheidt Sastra Pocket Hebrew Dictionary, Germany: Legenscheidt Hodder and Soughton, 1961
Fleming, Don, Bible Knowledge Dictionary, England: Scripture, 1990
Friedrich, Gerhard, Theological Dictionary of The New Testament, Michigan: WM.B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1968
Koentjaraningrat, Manusia dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1992
Lumbantobing, Darwin, Teologi Pasar Bebas, Pematangsiantar: L-SAPA, 2008
Moris, L. L., “Mati” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Pasaribu, Rudolf H., Agama Suku dan Batakologi, Medan: Penerbit Pietir, 1988
Pederson, Paul B., Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches in North Sumatera, Michigan:William B. Eeardmans Publishing Company, 1970
Philip, Tobing, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God, South and South East Celebes: Institute For Culture, 1952
Poerwardarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Prince, Derek, Kebangkitan Orang Mati, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993
Schrainer, L., Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Shu, Ming Shung, “Disertasi”, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, STT Jakarta, 1998
Siahaan, Bisuk, Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu, Jakarta: Kempala Foundation, 2005
Tambunan, E. H., Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya Sebagai Sarana Kehidupan, Bandung: Tarsito, 1982
Verguowen, J. C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak, Jakarta: Pustaka Azet, 1986
Vriezen, Th. C., Agama Israel Kuno, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Warneck, J., (Penerjemah:  P. Leo Joosten) Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia, Medan: Bina Media, 2001


[1] W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 960
[2] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: Paduan dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 386
[3] W. J. Cameron, “Roh” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 317
[4] J. Warneck, (Penerjemah:  P. Leo Joosten) Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia, (Medan: Bina Media, 2001), 352
[5] Bisuk Siahaan, Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu, (Jakarta: Kempala Foundation, 2005), 19-21
[6] J. C. Verguowen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak, (Jakarta: Pustaka Azet, 1986),  92
[7] E. H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya Sebagai Sarana Kehidupan, (Bandung: Tarsito, 1982), 48-49
[8] …………, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2005), 316-317
[9]Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of The New Testament, (Michigan: WM.B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1968), 332-455.
[10] W. J. S. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 723
[11] L. L. Moris, “Mati” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 35
[12] Carl E. Braaten, Robert W. Jenson,  Christian Dogmatics  I, (Fortress Press, 1984), 16
[13] Ibid, 548
[14] Karl Barth, Dogmatics In Outline, (London: SCM-Press LTD, 1958), 117
[15] Darwin Lumbantobing, Teologi Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA, 2008), 366-367
[16] L. Schrainer, Adat dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 200
[17] Karl Feyerabend, Legenscheidt Sastra Pocket Hebrew Dictionary, (Germany: Legenscheidt Hodder and Soughton, 1961), 171
[18] William Drynes, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 217
[19] J. Backer, Theology Of The Old Testament Vol II, (Philadelpia, 1967), 222
[20] Don Fleming, Bible Knowledge Dictionary, (England: Scripture, 1990)  403
[21] John Drane, Old Testament Faith, (England: Lion Publishing, 1986) 74-75
[22] Rolanfd de Vaux O. P, Ancient Israel It’s Life and Institution, (New York: Mcgraw-Hill Book Company Inc, 1961), 56-61
[23] Artikel dari Hendra Rey, Manusia dan Orang Mati, Edisi 077/VII/2006
[24] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: Paduan dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 128
[25] Walter  A. Alwell, Evangelical Dictionary of Theology, (Baker Book House, Michigan, 1986),
[26] Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 98
[27] Derek Prince, Kebangkitan Orang Mati, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993), 25
[28] Tobing Philip, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God, (South and South East Celebes: Institute For Culture, 1952), 97-98
[29] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 137-138
[30] Koentjaraningrat, Manusia dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 1992), 14
[31] Ming Shung Shu, “Disertasi”, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, (STT Jakarta, 1998), 133
[32] Hanry Chambert-Loir & Anthony Reid, THE POTENT DEAD, (Nort America: University Of Hawai Press, 2002), 101
[33] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, (Medan: Penerbit Pietir, 1988), 125
[34] Bisuk Siahaan, Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu, 13-14
[35] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 82-88
[36] Paul B. Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches in North Sumatera, (Michigan:William B. Eeardmans Publishing Company, 1970), 29
[37] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 137
[38] Ibid, 138-140
[39] Paul B. Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches in North Sumatera, 28
[40] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 141
[41] Paul B. Pederson, Batak Blood and Protestant Soul: The Devolopment of Nation Batak Churches in North Sumatera, 29-30
[42] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 142-143
[43] Rudolf H. Pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, 137-138